BANYUWANGI – Terumbu karang merupakan ekosistem khas perairan tropis yang memberi banyak manfaat bagi lingkungan maupun manusia. Adanya pencemaran, pemanasan global dan aktivitas pariwisata, serta penangkapan yang tidak bertanggung jawab mangakibatkan kerusakan pada beberapa wilayah di Indonesia. Oleh karenanya, upaya rehabilitasi dan restorasi sudah mulai banyak dilakukan. Salah satunya menggunakan metode transplantasi.
Dosen Akuakultur Sekolah Ilmu Kesehatan dan Ilmu Alam (SIKIA) UNAIR mengungkapkan, metode transplantasi adalah metode rehabilitasi melalui pencangkokan fragmen koloni karang untuk ditanam di wilayah lain. “Metode ini sering digunakan karena selain mudah, murah, juga terbukti efektif, ” terangnya, Jum'at (15/7/2022).
Baca juga:
Gempa Magnitudo 4,0 Guncang Sumenep Hari Ini
|
Suci menjelaskan, dalam proses transplantasi, kesesuaian lingkungan dengan spesies yang ditransplantasikan adalah faktor utama penentu keberhasilan. Sehingga, lanjutnya, sebisa mungkin menggunakan spesies karang yang cocok dengan karakteristik perairan yang akan direhabilitasi.
Untuk itu, ia dan tim meneliti performa tiga spesies karang yang ditransplantasikan di Pantai Tirtawangi, Banyuwangi, untuk mengetahui kecocokan lingkungan dengan spesies tersebut.
“Salah satu spesies karang yang tersebar luas di wilayah Indo-Pasifik adalah Acropora branching. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan karang dari spesies Acropora brueggemanni, Acropora nobilis dan Acropora yongei, ” sambungnya.
Penelitian ini dilakukan dengan cara mentransplantasikan 25 fragmen karang yang dipasang pada rak persegi berukuran 100 cm x 100 cm. Fragmen karang diambil dari populasi terumbu karang yang ada disekitar wilayah tempat transplantasi dilakukan. Rak diletakkan sejauh 400 meter dari bibir pantai dengan kedalaman 5 meter untuk diamati kelulushidupan dan pertumbuhannya selama 3 bulan.
“Selain itu, kami juga mengamati beberapa parameter kualitas air yang berpengaruh terhadap pertumbuhan karang seperti suhu, kecerahan, kekeruhan, kecepatan arus, sedimentasi, nitrat dan fosfat, ” sambungnya.
Hasil menunjukkan bahwa ketiga spesies memiliki tingkat kelulushidupan yang tinggi >95 persen. Sementara pada pengamatan pertumbuhan, nilai pertumbuhan bulan kedua memiliki nilai tertinggi dengan rata-rata pertumbuhan tertinggi ada pada spesies Acropora nobilis yang berkisar 0, 809 ± 0, 394 cm/bulan.
Menurut Suciyono, Tingkat kelulushidupan yang tinggi pada semua spesies diakibatkan oleh lokasi karang yang dicangkok tidak jauh dari penempatan transplantasi. Hal itu menyebabkan karang lebih mudah beradaptasi karena memiliki kesesuaian parameter kualitas air dengan daerah asalnya. Sementara itu, perbedaan nilai pertumbuhan dari ketiga spesies diakibatkan oleh perbedaan kemampuan beradaptasi pada lingkungan yang baru.
“Hal ini kaitannya dengan penggunaan energi, ketika fase adaptasi, energi yang seharusnya dapat digunakan untuk tumbuh akan digunakan untuk beradaptasi. Sehingga semakin lama waktu yang digunakan beradaptasi juga akan menghambat pertumbuhan, ” terangnya.
Sedangkan hasil pertumbuhan pada bulan kedua menunjukkan bahwa semua spesies memiliki rata-rata pertumbuhan tertinggi. Menurut Suci, selain karena karang sudah melewati fase adaptasi, hal itu disebabkan karena pada bulan kedua nilai parameter nitrat, fosfat, tingkat sedimentasi dan fluktuasi suhu berada pada nilai terendah.
“Karena kualitas air adalah hal yang sangat mempengaruhi pertumbuhan karang. Adanya eutrofikasi akibat nitrat dan fosfat dapat mengurangi proses kalsifikasi dan fluktuasi suhu dapat mengakibatkan hilangnya simbion dalam karang sehingga mengalami kematian (bleaching), ” ujarnya. (*)
Penulis : Ivan Syahrial Abidin
Editor : Binti Q Masruroh